Bangunan bambu milik Sunaryo, maestro perupa seni dari ITB Bandung ini berawal dari ‘selembar kayu’ yang diperolehnya dari seorang sahabat. Awalnya ia belum tahu untuk apa dan bagaimana pemanfaatan kayu tersebut, hanya disimpannya di kebun dengan dilindungi oleh atap serta tiang penopang. Kemudian ide desain “mengalir” dalam coretan seadanya dan diwujudkan oleh para pekerja yang sebagian besar merupakan masyarakat sekitar. Kebutuhan ruangnya juga berkembang baik ruang untuk beristirahat atau area kerja untuk bengkel keseiannya. Pondok berukuran 15m x 8 m yang luasnya hanya 0.8 % dari total luas kaveling 1,6 ha ini sengaja dikelilingi oleh ‘hutan’ untuk menahan lahan tebing yang curam di kawasan Bandung Utara.
Keindahannya tidak terletak pada kemewahan sosok bangunannya, tetapi justru terletak pada kesederhanaan yang menyatu dengan alam sekitarnya.
Struktur utama bangunan menggunakan batu dan beton namun hampir seluruh komponen lain terbuat dari material bambu dan kayu. Arsitektur bangunan sangat sederhana dengan bentuk empat persegi, atapu pelana dan teras ntuk menikmati pemandangan ke arah lembah.
Ruang komunal didominasi oleh area terbuka untuk duduk-duduk dan menghadap ke arah taman juga kebun sayur disekitarnya serta disekat oleh jendela kaca geser miliknya. Sebuah meja kerja diletakkan menghadap kea rah jendela agar Sunaryo dapat menikmati suasana senja. Pada ruangan ini ditempatkan pula balok kayu trembesi yang sudah dimodifikasi menjadi meja panjang sekaligus sebuah artwork bernilai seni yang tinggi.
Konsep ruang luar dirancang sealami mungkin, dengan memadukan karakter setiap tanaman dan konsep ruangnya. Konsep less dan hening pada area penerima membuat kita penasaran untuk melihat kejutan berikutnya berupa anak tangga kayu berliku yang munurun dan mengimajinasikan perjalanan menembus hutan pakis gunung dan bebatuan.
Aliran sungai yang menembus diantara bebatuan semakin memberi pengalaman perjalanan yang sukar dijumpai di lokasi lainnya. Sebuah gubuk kecil dan kolam renang dibangun di lokasi yang lebih ke bawah dari pondok dan dilengkapi dengan area untuk duduk bersantai. Semuanya itu menjadi satu wujud ritmik aktivitas keseharian yang kini dijalaninya setelah memasuki tahun ke-2 masa pensiun dari institusinya.
Courtesy : majalahasri.com/
Struktur utama bangunan menggunakan batu dan beton namun hampir seluruh komponen lain terbuat dari material bambu dan kayu. Arsitektur bangunan sangat sederhana dengan bentuk empat persegi, atapu pelana dan teras ntuk menikmati pemandangan ke arah lembah.
Ruang komunal didominasi oleh area terbuka untuk duduk-duduk dan menghadap ke arah taman juga kebun sayur disekitarnya serta disekat oleh jendela kaca geser miliknya. Sebuah meja kerja diletakkan menghadap kea rah jendela agar Sunaryo dapat menikmati suasana senja. Pada ruangan ini ditempatkan pula balok kayu trembesi yang sudah dimodifikasi menjadi meja panjang sekaligus sebuah artwork bernilai seni yang tinggi.
Konsep ruang luar dirancang sealami mungkin, dengan memadukan karakter setiap tanaman dan konsep ruangnya. Konsep less dan hening pada area penerima membuat kita penasaran untuk melihat kejutan berikutnya berupa anak tangga kayu berliku yang munurun dan mengimajinasikan perjalanan menembus hutan pakis gunung dan bebatuan.
Aliran sungai yang menembus diantara bebatuan semakin memberi pengalaman perjalanan yang sukar dijumpai di lokasi lainnya. Sebuah gubuk kecil dan kolam renang dibangun di lokasi yang lebih ke bawah dari pondok dan dilengkapi dengan area untuk duduk bersantai. Semuanya itu menjadi satu wujud ritmik aktivitas keseharian yang kini dijalaninya setelah memasuki tahun ke-2 masa pensiun dari institusinya.
Courtesy : majalahasri.com/